Sedikit Ilmu Bisa Manfaat, Berkah dan Mengantar Kecintaan Kepada Allah

Oleh : Al-Faqir Ahmad Zaini Alawi 

(Alumni Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso Peterongan Jombang dan Pesantren Tebuireng Jombang).

“العلم بالتّعلّÙ… والبركة بالخدمة” 

Bahwa ilmu bisa didapatkan oleh para penuntut ilmu, dengan cara belajar yang tekun dan bersungguh-sungguh, karena setiap ilmu itu memiliki sebuah kebaikan, sedangkan barokah yang menambah kebaikan, keduanya bisa diperoleh dengan mengabdi atau berbakti secara tulus kepada ilmu itu sendiri, baik kepada para penuntut ilmu ataupun tempat mempelajari ilmu (pesantren).

Kisah Nyantri Dengan Mengabdi

Sebuah kisah tentang seseorang yang ingin mengabdi kepada seorang yang sudah mashur kealimannya dan memiliki beberapa murid.

Pada suatu ketika datanglah orang yang ingin mengabdi kepada kiai tersebut dan berkata : “Saya ingin mengabdi guru”. 

Namun, dengan nada yang santun, kiai itu menjawab : “Ditempat ini sudah ada yang mengurusi setiap pekerjaan masing-masing oleh para santri”. 

Tetapi kiai itu melanjutkan perkataannya : “Jika kamu benar-benar ingin mengabdi, maka susunlan sandal yang ada dimusholla milik para santri”. 

Dengan ikhlasnya orang itu mengikuti perkataan kiai tersebut, hingga dia selalu medapatkan kebaikan, berkat pengabdian kepada tholibul ilmi.

Meskipun memiliki ilmu, sedikit akan tetapi manfaat dan barokah, bahkan dapat menjadi wasilah atau sarana mengantarkan kecintaan kepada Allah subhanahu wa ta'ala”.

Dari kisah tersebut, mengandung hikmah bahwa meskipun ilmu yang kita miliki sangat sedikit, akan tetapi jika diiringi dengan akhlak yang mulia dan pengabdian yang tulus dan ridho, maka ilmu yang didapat akan menjadi ilmu yang bermanfaat dan barokah, sehingga dengan ilmu yang manfaat dan barokahlah kita bisa Mahabbatullah.

Kita sangat berharap agar selalu mensyukuri limpahan nikmat Allah subhanahu wa ta'ala, yang telah diberikan kepada kita, karena Allah subhanahu wa ta'ala, akan menambahkan nikmatnya kepada orang yang selalu bersyukur kepada-Nya.

Disampaikan oleh Al-Fadhil Asy-Syaikh Muhammad bin Ismail Bin Utsman Bin Ali Bin Salim Az-Zain Al-Yamani Al-Makki Asy-Syafi'i rahimahullah, saat kunjungan ke Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Demangan Barat Kabupaten Bangkalan, pada Kamis malam Jum'at 19 Juni 2019 M ) Source : www.syaichona.net

------------------
NYANTRI DAN NGABDI

Pengabdian seorang santri kepada gurunya, memuarakan sarana keberkahan. Salah satu faktor mengalirnya keberkahan tersebut, karena pada hakikatnya, seorang kyai atau guru juga dalam rangka mengabdi sepanjang hayatnya.

Pengabdian Kyai

Sebagaimana dilansir dari sumber https://mubadalah.id dan dikembangkan penjabarannya. Pengabdian, jika dijabarkan tidak melulu tentang pengabdian "bawahan kepada atasan", akan tetapi juga mencakup pengabdian "atasan terhadap bawahan". Bisa ditilik pada budaya pesantren, yang pada umumnya seorang santri cenderung mematuhi peraturan atasan, seperti pengurus dan pengasuh, di sana juga ikut andil pengabdian pengurus dan pengasuh.

Dapat dilihat dari upaya pengurus yang memikirkan berbagai persoalan di pondok demi terciptanya kelancaran kegiatan, tidak terlalu banyak masalah, juga ikut menanggulangi berbagai perkara merugikan yang sudah terjadi, misalnya seperti mogok mengaji, piket yang lambat pelaksanaannya, dan beberapa kegiatan yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Adapun seorang kyai atau guru, dalam memberikan ilmu dan mengaji, pada hakikatnya juga sudah menerapkan pengabdian kepada murid-muridnya, bahkan lebih besar lagi dari pengabdian para muridnya terhadap ilmu dan guru. Seorang guru rela membagi waktu, tenaga serta ilmunya hanya untuk mengajari muridnya. 

Seorang kyai atau guru juga mengabdi dengan tulus kepada murid-muridnya dengan kesabaran dan ketelatenan selama 24 jam, supaya para santri atau murid-muridnya paham dan memahami akan pengajarannya dan ilmu-ilmu yang dicarinya. Maka, dengan pendekatan ini, disimpulkan bahwasannya telah terjadi mutualisme positif, timbal-balik pengabdian guru dan murid, kyai dan santri, dalam konsep dan konteks mengaji - mengabdi.

Sebagai pengasuh atau Kyai, dengan penuh rasa welas asihnya, mengorbankan jiwa raga juga hartanya untuk pesantren yang menjadi tanggung jawab mereka. Para pengasuh juga seperti sudah lumrah mencurahkan waktunya hanya untuk kebaikan para santrinya. Mereka juga tidak hanya condong kepada santri saja, melainkan sebagai tokoh masyarakat dengan pengetahuan agama yang tidak diragukan lagi, juga ikut mendoakan dan ikut berperan penting dalam kemaslahatan masyarakat serta umat.

Ruang Mengaji 

Jika di dalami lebih jauh, ruang mengaji di pesantren, bukan soal belajar Al-Qur’an, kitab kuning, nahwu shorof, manthiq, balagoh, bayan, fiqih, hadits, aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, aplikasi ibadah wajib dan Sunnah dan ilmu agama lainnya, melainkan juga belajar memahami hubungan jiwa dan sambungnya hati, kondisi bathin maupun dhohir seorang santri atau murid kepada kyai atau gurunya, yang kemudian banyak orang mengistilahkan yang disebut “Ngaji Diri atau Ngaji Rasa”. Ada konteks adab, akhlaq, ta'lim, tarbiyyah dan mulazamah bit-talaqqi.

Dalam hal ini, konteks mengaji, bersama dengan banyak santri lainnya dan ragam ilmu serta kitab-kitab yang dipelajarinya, bisa difokuskan juga kepada belajar mengerti keadaan seseorang, ragam karakter dan mental, kondisi yang majemuk dan rasa kebersamaan dan kesetiakawanan, serta bisa terinternalisasi secara mandiri tumbuh sikap memiliki rasa prihatin dan peka terhadap apa yang tengah dialami oleh orang lain. Sehingga, kita bisa menjadi manusia yang enggan menyakiti, tidak berbuat semena-mena, juga lebih perhatian kepada orang lain.

Selain itu, pergaulan di pesantren, hubungan antar-persona santri dan antara santri dan kyai, sejatinya telah melakukan ngaji rasa kepada orang lain, sehingga berefek positif menjadi ngaji rasa dengan diri sendiri. Dengan ngaji rasa kepada diri sendiri inilah, para santri atau murid telah belajar untuk lebih mengesampingkan egoisme, suatu sikap yang tidak baik untuk diri kita dan berimbas pada lingkungan lainnya. 

Pada "Laku Urip" di pesantren inilah, para santri sudah bisa disebut sebag ai abdi rasa. Maksudnya adalah mengabdi kepada segala sesuatu yang hasanah dan ma'ruf, menyangkut perasaan untuk mencipta kenyamanan baik pada dirinya maupun orang lain, serta mau berbaur dengan sesama, atasan (ustadz, senior dan dewan kyai lainnya, maupun bawahan (yunior, tukang sapu, penjaga Pondok, penjual makanan hingga tamu-tamu yang datang ke pesantren), melalui sifat ke-“rasa”-an kita.

Ruang Mengabdi

Selanjutnya tentang mengabdi. Mengabdi itu lebih erat kaitannya dengan mematuhi perintah, tanggung jawab dan amanah, agar tercipta keteraturan dalam lingkaran sehingga menimbulkan kenyamanan, kedisplinan, saling menghargai, saling memberi dan menerima, saling mendoakan, kenyamanan sosial dan sebagainya, yang dijadikan ruang kesadaran abdian-nya laksana sebuah organisasi besar. 

Jika dalam dunia pesantren sangkut pautnya lebih tertuju kepada agar bertambahnya kebaikan-kebaikan terseb,ut  yang disebut dengan barokah. Barokah tersebut, pada kebanyakan santri lebih tertuju kepada “ngalap barakah” oleh seseorang yang lebih tinggi maqamnya seperti seorang kyai atau nyai. Keberkahan itu akan langgeng hingga para santri sudah berkeluarga dan berkiprah ditengah masyarakatnya.

Sebagian santri, sudah terbiasa ada yang mengabdikan dirinya kepada keluarga pengasuh pesantren. Dengan laku menjadi abdi kyai atau abdi dalem disertai harapan bisa memperoleh barakah dari pengasuhnya. Sekalipun begitu, seseorang yang mengabdi tersebut, tidak hanya lurus kepada pengabdiannya saja, juga pada barokah yang didapat dari mengabdi kepada pengasuh saja, akan tetapi dalam konsep mengabdi tersebut, juga ada mengaji di dalamnya dan dalam ngalap barokah tersebut,  bisa didapat di mana saja dan dari siapa saja.

Jika kita tela'ah, santri yang mengabdi itu laksana bekerja diruang kehidupan nyata, baik bekerja untuk keluarga pengasuh maupun mengabdi kepada pesantren, itu pasti ada ilmunya. Maksud dari ada ilmunya tersebut, menunjukan bagi yang belum bisa hendaknya mau belajar, dan bagi yang bisa hendaknya mau mengajarkan kepada yang belum bisa, yang kemudian dalam lingkup pesantren, juga disebut dengan "mengaji ketika mengabdi."

Oleh karena itu, jelas sudah betapa besarnya pengabdian-pengabdian tersebut, yang mereka berikan untuk santri, masyarakat, juga umat sekalian. Kesemuanya mengemban makna mengaji, kepatuhan santri kepada pengurus dan pengasuh, menuntut mereka untuk lebih mempelajari banyak hal, dan pemberian pengurus maupun pengasuh kepada santrinya, yang kemudian diakui sebagai bentuk pengabdian mereka, juga menjadikan mereka sebagai contoh yang menyalurkan beberapa pengetahuan mereka dalam banyak hal.

Kemudian dalam mengabdi tersebut, para santri juga bisa dikatakan mengaji, jika mau belajar bekerja sesuai ilmunya. Para santri, juga disebut sebagai orang yang ngaji rasa ketika kita "bekerja" (mengabdi) disertai rasa ikhlas, tulus dan ridho serta mengutamakan kenyamanan "atasan kita" atau orang yang menyuruh kita. 

Dengan demikian, ternyata bisa lebih dipahami bahwa mengaji bukan hanya soal belajar saja, tapi juga segala sesuatu yang sangkut pautnya dengan ilmu yang bermanfaat dan mau mempelajari ilmu apa saja, termasuk ilmu "bekerja". Bekerja dengan suasana pengabdian yang tulus dan mencintai pekerjaannya adalah suatu kepuasan bayiniyyah, yang terasa dalam kenikmatan lahiriyah.

Konteks ngaji rasa pun masuk dalam ketiganya, yakni santri, pengurus, dan pengasuh bisa saling memahami dan peka terhadap kondisi sesama di lingkungannya.

Prinsip Barokah

Selain itu juga ada prinsip barokah dalam mengaji dan mengabdi secara luas. Prinsip barokah ini masih berkaitan dengan pembahasan sebelumnya. Yang mana, santri ngalap barokah atau menambah kebaikan dengan pengabdiannya terhadap pengurus dan pengasuhnya, pengurus bertambah kebaikan atau mendapat barokah atas pengabdiannya kepada santri dan pengasuhnya, dan pengasuh bertambah kebaikannya, bahkan lebih banyak lagi, atas pengorbanannya atau pengabdiannya terhadap santri-santrinya.

Melibatkan Akal dan Rasa

Dalam pembahasan ini, sekalipun mengaji lebih melibatkan akal dan ngaji rasa lebih melibatkan perasaan, keduanya merucut kepada satu prinsip, yaitu BELAJAR. Dan pada keduanya mengandung juga pengabdian. Sama halnya juga dengan pengabdian, baik "bawahan kepada atasan" maupun "atasan kepada bawahan", semuanya tertuju pada prinsip mengharap barokah atau bertambahnya kebaikan dan sama-sama mengandung konsep mengaji.

Pada intinya, kedua konsep sekaligus konteks dari pembahasan tadi, yakni mengaji dan mengabdi, sekalipun tampak jelas banyak perbedaannya, namun mempunyai kesalingan, keterikatan dan keterkaitan antar satu dan yang lainnya. Seperti halnya, sebuah kalung dengan bandulnya, semuanya saling melingkar dengan tertumpu pada satu tujuan, yaitu kebaikan dan kemanfaatan bersama.

Pesantren Rumah Spiritual

Secara tidak terasa dalam kehidupan sehari-hari, ruang hati dan raga santri, mereka tumbuh dan tinggal di "perkampungan religius."

Kesadaran religius ini akan terasa, jika kita hadapkan pada ruang problematika kehidupan saat ini. Kesadaran batiniah inilah yang sebenarnya diimpikan manusia-manusia modern sana. Sebab, ketika isi kepala dan hati manusia sudah tak kuasa menampung problema duniawi. Saat-saat seperti itulah, ada kekeringan rasa, ada kerinduan yang menggiring manusia ingin selalu dekat dan bergaul akrab dengan Tuhannya. Pergaulan paling akrab antara Tuhan dan makhluk, sering ditemui dalam corak kehidupan para santri di pesantren.

Para santri, siang malam mereka menghafal kitab paling suci, yakni Alquran. Mereka juga  mengkaji kitab-kitab klasik, bertadarus Alquran setiap habis shalat lima waktu, bukan hanya untuk menabung pahala dari Tuhan. Mereka khusuk memanjat doa di sepertiga malam, bukan cuma untuk merayu Tuhan.

Aktivitas keseharian santri tersebut, bermuara pada keinginan bergaul akrab dengan Tuhannya. Mereka percaya, pergaulan rohani tersebut akan mengubah problematika duniawi menjadi nikmat yang lezat ukhrawi. Kesunyian hati berubah menjadi suka cita dan kebencian menjadi cinta.

Kenikmatan hidup seperti itulah yang sesungguhnya dirindukan umat manusia pada umumnya. Kelezatan hidup demikianlah, yang menuntun pengembara rela keluar masuk belantara, pelancong menelusuri lorong-lorong, dan wisatawan mengarungi lautan.

Meski tahu ketenangan rohani ada di perkampungan pesantren, namun jarang manusia tahu jalan yang mengantarkannya. Meski desakan ingin hidup tenang tak lagi terbendung, namun hanya sedikit dari mereka yang menemukan "rumah kedamaian" untuk merenung. Bahkan banyak yang salah jalan ketika diluar sana, banyak ingin belajar agama dan dekat dengan Tuhannya, malah menjadi pemarah dan semakin jauh dari Tuhannya, hingga merasa paling suci manusia lainnya.

Bangga Menjadi Santri Yang Bermanfaat

Menyandang status sebagai seorang santri, merupakan salah satu anugerah dari Allah subhanahu wa ta'ala. Sejak dulu, santri yang identik dengan pakaian songkok dan sarung, telah mencatatkan nama dalam ruang sejarah, sebagai kaum terdidik dengan segudang konstribusi untuk kemajuan agama, masyarakat dan Bangsa Indonesia.

Jadi anak-anakku, banggalah menjadi santri. Lebih-lebih lagi, banggalah menjadi bagian dari anak-anak muda yang mesantren di rumah kedamaian, spiritualitas kemanusiaan dan keilmuan serta keadaban.

Wallahu A'lam. Semoga bermanfaat !!