Krisis Minyak Goreng, Pelajaran Berharga

Oleh : Asad Said Ali

Setelah mencapai kemakmuran melalui beberapa tahapan pembangunan lima tahunan, minyak goreng atau migor rupanya sudah menjadi bagian dari makanan pokok. Beragam makanan diproses mulai dari nasi, tahu , tempe, singkong, kentang dan seterusnya yang serba digoreng. Migor sudah menjadi cita rasa lidah yang sulit dipisahkan dari dunia kuliner nasional. Untung Indonesia sejak dua puluh tahun terakhir mampu swasembada minyak kelapa sawit dan bahkan pada tahun 2020 menjadi negara ekspotir terbesar.

Menurut sratistik, Indonesia paling tinggi menkonsumsi minyak goreng setara 14,2 metrik ton per tahun. Bandingkan dengan Amerika Serikat hanya 1.5 metrik ton, RRC 6.9 m ton dan Malaysia 3.6 metrik ton serta Mesir 1.6 m ton.  Jepang dan Rusia dibawah 1 metrik ton.Kebutuhan minyak goreng dalam negeri yang besar ini turut menjadi andil terjadinya  kelangkaan migor.

Namun faktor utama penyebab kelangkaan migor adalah naiknya harga komoditas kelapa sawit dunia. Akibatnya kebutuhan minyak kelapa sawit domestik tersedot untuk  memenuhi demand luar negeri. Dalam suasana iklim perdagangan bebas dan tawaran harga yang menggiurkan, maka lonjakan transaksi perdagangan minyak kelapa sawit ke luar negeri tidak bisa dihindarkan dan berlakulah hukum suplay and demand. 

Pemerintah cq kemendag dan intansi terkait lengah dan kalah cepat dengan mafia kelapa sawit yang bergerak lebih lincah. Maklum selama ini jarang terjadi kelangkaan migor yang terakhir terjadi pada 2007. Para  mafia migor memanfaatkan naiknya permintaan minyak kelapa sawit, namun sayang tidak disertai empati terhadap kebutuhan dalam negeri. Ditengah rawan sosial sebagai dampak dari pandemi, melonjaknya harga migor bisa menambah keresahan sosial.

Masyarakat yang berpenghasilan pas pasan menjadi korban utama seperti pedagang makanan gorengan dipasar rakyat dan ditepi jalan ramai serta dihalaman rumah masing masing. Padahal mereka yang bergerak disektor informal tersebut mempunyai andil yang tidak kecil selama  pandemi. Mafia minyak goreng seharusnya tersentuh nuraninya.

Ibu rumah tangga mungkin bisa mengatur makanan apa yang dimasak secara bervariasi, digoreng, direbus, dibakar, di oven atau dipepes. Tetapi bagaimana dengan para pedagang tahu goreng dan jenis makanan gorengan lainnya?. Tidak mungkin mereka merubah pola dagangnya secara cepat dan serempak karena mereka telah mempunyai pangsa pasar sendiri.

Krisis migor sekarang ini bisa menjadi pelajaran berharga  bagi pemangku kekuasaan dan aktivis sosial/masyarakat serta kalangan agama/akademisi. Perhatian dan bimbingan khusus perlu diberikan kepada golongan masyarakat khususnya sektor informal yang bertujuan untuk meningkatkan variasi usahanya dan bukan hanya mengandalkan penggunaan minyak goreng.

Pada masa lalu, monitoring rutin terhadap harga dan tersedianya 9 bahan pokok menjadi laporan wajib bagi institusi keamanan dan intelijen. Isu sosial politik senantiasa bermula dari terjadinya ketimpangan 9 bahan pokok. Emosi masyarakat mudah disulut manakala ada gejala keresahan sosial.