Oleh : indra Kresna Wicaksana
Sudirman tak pernah lepas dengan rokok lintingan seperti tembakau atau rokok kretek tak bermerek. Tingwe alias nglinting dewe, artinya melinting sendiri. Sejak remaja pak Dirman sudah menikmati kepulan asap dari tembakau.
Sudirman dengan keadaan paru-paru tinggal sebelah, memaksakan diri untuk terus bergerilya melawan Belanda pada 22 Desember 1948. Ia dengan pasukan gerilya berjuang dengan senjata seadanya, melawan musuh dengan strategi hit and run, keluar masuk hutan. Bisa dikatakan Sudirman adalah seorang perokok berat, karena memaksa untuk menyambat sebatang rokok, tentu hal itu tidak dibolehkan oleh Dokter. Tetapi, dengan kasih sayang istrinya Siti Alfiah mau untuk menghempaskan asap ke muka Sang Jendral.
Dalam Majalah TEMPO edisi 12 - 18 November 2012, diceritakan bila Jenderal Soedirman berjalan tertatih-tatih memasuki rumah dinasnya di Jalan Bintaran Wetan, Yogyakarta. Di depan pintu, sang istri, Siti Alfiah, menyambutnya. “Bapak pulang setelah dua pekan memimpin operasi penumpasan pemberontakan PKI,” kata Muhammad Teguh Bambang, putra bungsu Soedirman, yang mendapat cerita itu dari ibunya.
Pada akhir September 1948, Sudirman mengeluh ke Alfiah bila ia tak bisa tidur selama di Madiun. Sudirman begitu terpukul menyaksikan pertumpahan darah di antara rakyat Indonesia itu. Peristiwa Madiun membuat batin Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia ini nelangsa.
“Selain kelelahan berat, Bapak tertekan batinnya karena peristiwa itu,” ujar Teguh. Malam itu, kondisi kesehatan Sudirman turun. Namun, ia tetap mandi dengan air dingin. Saran sang istri agar mandi air hangat tak ia indahkan. “Inilah awal petaka bagi Bapak,” kata Teguh. “Esoknya, Bapak terkapar di tempat tidur.” Kendati tergulai lemah, kegemarannya merokok tetap tak bisa ia hilangkan. Sesekali, sembari terbaring, Sudirman mengisap rokok kretek. Melihat itu, istrinya hanya diam, tak berani melarang.
Menurut Asvi Warman Adam dalam Menguak Misteri Sejarah, ia menderita sakit TBC dan dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih. Sebagai tanda terima kasih ia sempat menulis puisi “Rumah Nan Bahagia” yang kemudian diabadikan pada salah satu ruangan tempat ia dirawat.