Pedoman Pengeras Suara untuk Harmoni Beragama - Dr. Kisbiyanto Dosen Program Pascasarjana IAIN Kudus

 

Pedoman Pengeras Suara untuk Harmoni Beragama


Dr. H. Kisbiyanto, S.Ag, M.Pd
Dosen Program Pascasarjana IAIN Kudus

 

Surat Edaran (SE) No. 05/2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala oleh Menteri Agama RI, H. Yaqut Cholil Qoumas ternyata mendapat respon yang beragam. Setidaknya ada tiga varian respon, yaitu pihak yang menerima SE dengan baik karena pengaturan memang diperlukan sebagai penataan untuk harmoni sosial, pihak yang menolak SE karena pengaturan itu dianggap tidak perlu dan biar masyarakat saja yang mengatur penggunaan pengeras suara, dan pihak yang mempolitisasi atas SE tersebut  sehingga ada kesan kontoversi dan membahayakan kehidupan beragama di Indonesia.

Pertama, saya bertemu dengan seorang teman doktor di bidang islamic studies, namanya Mohammad Rosyid yang juga aktifis NU dan lintas kepercayaan, suatu saat dia mengeluhkan suara keras pembacaan kalimat thayyibah di tengah malam di bulan Ramadan, tentu dia setuju ada SE yang mengatur penggunaan pengeras suara. Ahad pagi, saya memberikan pengajian kitab tauhid di masjid dekat rumah, selalu menggunakan pengeras suara khusus di dalam masjid, tidak pengeras suara luar yang biasa digunakan saat adzan. Pak Sholeh teman di kampung juga senang dengan pedoman penggunaan pengeras suara karena dia anggap pengaturan itu sesuatu yang wajar. Dia malah menceritakan, di dekat kampungnya ada dua masjid yang sangat berdekatan karena berbeda kelompok madzhab, seandaianya dua-duanya saling menggunakan suara keras untuk semua kegiatan dan pengajian di masjid, betapa kasihannya penduduk sekitar. Nah, dalam konteks ini, situasi tiga contoh di atas sangat relevan bahwa pedoman penggunaan pengeras suara memang dibutuhkan.

Kedua, saya bertemu seorang Kiai Shobirin yang setiap maghrib menjadi imam di masjid, kemudian mengajarkan kitab hadits kepada jamaah masjid setiap bakda maghrib malam Rabu. Dia lebih senang menggunakan pengeras suara luar sehingga pengajiannya terdengar ke masyarakat sekitar masjid. Kebiasan itu sudah berjalan bertahun-tahun dan tidak ada satupun masyarakat yang menyatakan keberatan. Demikian juga, di masjid sering ada pengajian umum yang diiringi shalawat dan rebana, juga menggunakan pengeras suara luar, bahkan terdengar ke desa lain. Hari Senin malam juga ada para pemuda yang membaca shalawat berjanjen di masjid dengan pengeras suara luar. Lagi-lagi, pengajian umum dan berjanjen dengan pengeras suara luar itu juga berjalan dari tahun ke tahun tanpa ada protes sama sekali dari masyarakat. Namun, Kiai Shobirin yang senang pengeras suara luar tidak menolak SE Menteri Agama, namun dia bijak menerimanya. Baginya, aturan memang harus ada sebagai bagian dari pranata sosial, negara harus hadir untuk menjaga harmoni bagi masyarakatnya. Namun, sekiranya masyarakat bersepakat dalam hal penggunaan pengeras suara luar, maka tetap diperbolehkan karena substansi harmoni tetap terjaga sesuai kesepakatan mereka.

Ketiga, saya melihat tayangan video di media sosial yang berisi seorang yang melantunkan adzan lalu dia sendiri melantunkan suara anjing menggonggong setelah lafal-lafal adzan itu, seolah-olah benar-benar ada pelecehan dalam beragama di negeri ini. Aksi sindiran yang sangat keras ini mempunyai dampak politis yang kemudian beberapa pihak menyayangkan SE Menteri Agama RI dan menuntutnya mundur dari jabatan. Mereka seperti tidak tahu atau tidak mau tahu bahwa Menteri Agama ternyata tidak pernah sama sekali menyebut apalagi memperagakan adzan dengan diikuti suara anjing menggonggong. Sebaliknya, pengkritik itu yang memperagakan pelafalan adzan yang diikuti suara gonggogan anjing dari pelafal adzan si pengkritik itu. Ada juga yang memanfaatkan momentum SE ini sebagai spekulasi politik elektoral, misalnya terkait pemilu atau perubahan jabatan menteri.     

Solusi, kita para muslimin di Indonesia sudah dinobatkan sebagai umat muslim terbesar di dunia, sepatutnya untuk bersikap dengan cerdas dan santun. Cerdas berarti menggunakan ilmu yang  berisi teori dan kaidah-kaidah kebenaran dengan akal dan pikiran supaya sikap dan perilaku kita menjadi benar, atau setidaknya tidak asal-asalan alias ngawur dalam berkata, bersikap, dan bertindak. Biasakan bertanya pada ahlinya yaitu para ulama, dan biasakan tabayun jika ada masalah agar tidak salah menilai dan membuahkan fitnah ikutan. Santun, artinya kebenaran yang kita perjuangkan melalui pikir, sikap, dan tindakan itu harus dihiasi oleh akhlak yang mulia. Jangan sedikitpun kita lengah untuk selalu berakhlak sebagaimana Rasul Muhammad SAW diutus untuk menyempurnakan akhlak. Ada Doktor Rosyid yang tidak suka pengeras luar, ada Kiai Shobirin yang lebih suka pengeras suara luar, namun mereka bisa biasa-biasa saja dalam merespon SE. Jangan menjadi orang ketiga, yang sukanya hanya banyak berkata-kata namun tidak membuahkan hasil perjuangan Islam apa-apa, selain membuahkan kontoversi dan firnah-firnah yang jauh dari esensi perjuangan itu sendiri. Para pemikir, para pejuang, para pendakwah, dan para apapun atas nama Islam, jangan hanya memburu kebenaran tanpa menjaga akhlak, karena akhlak itu separo dari agama yang kau perjuangkan. Lebih dari itu, SE 05/2022 ini bukan yang pertama, jauh di masa lalu 17 Juli 1978 sudah pernah ada Keputusan Dirjen Bimas Islam Nomor KEP/D/I/78 tentang tuntutan penggunaan pengeras suara di masjid dan musholla. Jadi, perdebatan SE itu boleh saja, tetapi jangan lupa bahwa itu bukan hal baru dan bukan pula Islam di Indonesia ini sedang dalam bahaya atas SE itu. Sebaliknya, muslim terbesar di Nusantara ini harus move on untuk memperjuangkan kemajuan umat  di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, kesejahteraan, dan kemuliaan akhlak. Jangan korbankan harmoni beragama. pengeras suara tidak dilarang, hanya diatur. Wallahu a’lam.