Sebagai sebuah langkah menempatkan perempuan di pos strategis NU, hadirnya beberapa tokoh perempuan dalam struktur harian PBNU 2022-2027 sebenarnya bukanlah hal baru. Proses transformasinya sudah dilakukan cukup lama dan panjang.
Yang baru adalah pos dan hirarkinya. Kalau sebelumnya tokoh perempuan baru sampai di level banom dan lembaga, maka progresifitas periode ini menempatkan perempuan di jajaran pengurus harian (inti). Ke depan, ini tentu harus jadi anutan bagi struktur pengurus NU di wilayah, cabang, dan seterusnya.
Pada titik baru ini, inilah prestasi besar NU. Sebuah capaian luar biasa dalam menghayati prinsip persamaan, keadilan, dan tentu saja keluar dari kekangan patriarki.
Seperti kita tahu, domestifikasi perempuan di ruang publik dalam pernik-pernik sejarah-budaya bangsa ini, sudah berjalan dalam waktu yang sangat panjang. Dan itu tak terkecuali terjadi sampai di jantung tradisi NU.
Namun pelan-pelan, ulasan kritis NU perihal posisi marginal kaum perempuan muncul dan terus mengedukasi warganya.
Lewat Munas NU di Lampung pada 1992, NU mengeluarkan metodologi ijtihad baru dalam menyikapi kepemimpinan perempuan. Ada pergeseran paradigma dimana jika sebelumnya NU cenderung menolak kepemimpinan perempuan, maka sejak itu, NU relatif lebih terbuka dan membuka ruang.
Diperkuat lagi melalui Munas NU di NTB pada 1997, disepakatilah sebuah paradigma bahwa partisipasi perempuan di sektor publik merupakan bagian dari wujud tanggungjawab NU dalam mendorong dinamisasi pembangunan nasional.
Lalu pada Muktamar ke-30 NU di Lirboyo tahun 1999, NU secara tegas meneguhkan kebolehan perempuan menjadi pemimpin dengan syarat umum menyangkut kapabilitas, integritas, dan tetap menjaga keseimbangan dengan peran domestiknya.
Walhasil, selamat kepada para tokoh perempuan NU yang baru saja memanggul amanat sebagai pengurus baru PBNU.
Menyongsong abad kedua NU semoga hadirnya tokoh perempuan makin mewarnai cita-cita kemandirian NU, dan tentu saja perkhidmatan global NU untuk bangsa dan dunia.