Edy Mulyadi, Anak Jin dan Monyet


Oleh : Dir. H. Helmi Hidayat, MA - Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Setiap ada orang bercerita tentang jin, saya selalu teringat tiga peristiwa menarik berkaitan dengan makhluk halus itu. 

Pertama, saat memimpin umrah tahun 2015, salah satu jamaah saya mengaku mampu berkomunikasi dengan makhluk halus. Saat kami masuk Makkah dari Madinah, dari dalam bus dia melihat puluhan ribu polisi berdiri berjajar di sepanjang perbatasan kota Makkah yang masuk kategori ‘’tanah haram’’. Wajah mereka ganteng, badan tegap. Tentu saja saya dan jamaah lain tidak melihat semua polisi itu. Mereka barisan malaikat atau jin Muslim? Entahlah. Dia hanya menyebut, semua polisi itu ditugaskan menjaga kota Makkah agar tidak dimasuki jin-jin kafir yang tidak suka melihat umat manusia menyembah Allah SWT.

Kedua, tahun 2018 saya menjadi petugas haji di Makkah dan ditempatkan di distrik kecil bernama Mahbas Jin. Saat itu saya bertanya-tanya, mengapa nama distrik ini Mahbas Jin? Saya tanya sejumlah warga Arab Saudi, tapi mereka tidak tahu. Untunglah dua atau tiga warga Arab menjelaskan bahwa arti Mahbas Jin adalah ‘’pertahanan jin’’. Sayang mereka tidak tahu mengapa lokasi yang menjadi favorit jemaah haji Indonesia itu diberi nama  ‘’pertahanan jin’’.  Saya kemudian menghubungkan cerita jamaah umrah di tahun 2015 tadi dengan tempat bernama Mahbas Jin ini. Salah satu jemaah haji yang tinggal di hotel Mahbas Jin tidak pernah berhasil masuk Masjidil Haram karena dia menyimpan jimat dari Indonesia.

Peristiwa ketiga terjadi di zaman Rasulullah SAW. Seorang lelaki memakan kurma lalu melempar bijinya sembarangan. Biji kurma itu pas mengenai anak jin hingga tewas di tempat. Tidak terima anaknya terbunuh, ibu jin mendendam. Tapi, dia dan semua bangsa jin tidak bisa membunuh bangsa manusia secara langsung, kecuali mereka harus masuk dulu ke dalam dimensi manusia, baik dalam bentuk manusia maupun binatang. Dalam kasus ini, ibu jin itu berubah jadi ular lalu membunuh lelaki tadi. Usai kejadian, Malaikat Jibril AS kemudian menyampaikan berita duka itu kepada Rasulullah SAW.   

Saya tidak bermaksud menakut-nakuti Edy Mulyadi dan kawan-kawannya dengan bercerita panjang tentang makhluk halus ini. Tapi dalam Al-Quran disebutkan, bangsa manusia memang diberi kemampuan mengendalikan bangsa jin seperti yang dilakukan Nabi Sulaiman AS atau bangsa Babilonia [QS Al-Baqarah (2) ayat 102]. Dengan bantuan jin, seorang Yahudi pernah mengirim guna-guna kepada Nabi SAW tapi tidak berhasil menyihir Rasulullah SAW [QS Al-Qalam (68) ayat 51]. 

Karena itu, ketika menyaksikan video yang merekam Edi Mulyadi bersama teman-temannya mengkritik rencana pemindahan ibukota ke Kalimantan sambil membawa-bawa nama jin dan anak jin, saya awalnya kagum. Orang-orang ini hebat sekali, pikir saya. Mereka pasti kerap bergaul dengan bangsa jin hingga tahu di mana saja bangsa jin buang anak. Saya teringat anggota jamaah umrah saya di tahun 2015 yang mampu berkomunikasi dengan makhluk halus itu. 

Tapi, benarkah jin gemar buang anak? Jika ya, mengapa bertentangan dengan kisah dalam hadis Nabi SAW itu?

Inilah soalnya. Jika Edy Mulyadi dan kelompoknya tidak punya keahlian mengendalikan jin tapi berani dengan lantang mengatakan jin gemar buang anak, perkara yang mereka hadapi sesungguhnya bukan satu, tapi dua. Pertama, mereka harus berhadapan dengan para raja, pangeran kepala suku serta masyarakat pulau Borneo yang marah karena tanah kelahiran mereka disebut tempat jin buang anak dan tempat tinggal monyet. Kedua, bangsa jin sangat mungkin tersinggung dituduh gemar buang anak. 

Dalam video itu jelas terdengar nada nyinyir Edy Mulyadi menyindir ditunjuknya Kalimantan Timur sebagai lokasi ibukota baru. Dia bertanya sambil meledek, siapa yang mau beli rumah di tempat tinggal jin dan genderuwo itu? Edi memang tidak menyebut monyet, tapi kawan di sampingnya nyeletuk hanya monyet mau tinggal di sana. Gara-gara menyebut ketiga nama itulah kini kawanan itu, terutama Edi Mulyadi, menjadi orang yang paling diburu oleh suku-suku asli yang sudah ratusan tahun hidup di Kalimantan. 

Dalam ilmu-l-mantiq (ilmu logika), ada satu teori yang disebut ‘’mafhum mukhalafah’’ atau ‘’logika terbalik’’. Dengan teori ini, orang bisa tahu ada makna konotatif di balik setiap diksi denotatif. Misalnya, jika seseorang menyebut ‘’Hai, anak pelacur, sini kamu,’’ itu berarti orang tersebut telah menuduh ibu si anak itu pelacur. Jika Anda minta rokok pada seseorang sambil meminjam koreknya sekalian, tiba-tiba orang itu bilang, ‘’wah, modal bibir doang luh!’’ -- ini juga bisa menimbulkan makna konotatif. Apa reaksi Anda jika disebut cuma modal bibir?

Ketika Edy Mulyadi dan kawan-kawan mengatakan Kalimantan bukan tempat yang tepat untuk ditinggali sebab hanya jin, genderuwo, dan monyet yang pantas tinggal di sana, lalu siapa para pangeran, raja-raja, dan para kepala suku yang kini masih tinggal di pulau itu di mata Edy? Logika terbalik dalam ilmu-l-mantiq inilah yang mendorong warga Kalimantan bersikap defensif, bahkan ofensif, melaporkan Edy Mulyadi dan kawan-kawannya ke kantor polisi. 

Bekas Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Tifatul Sembiring, membela kadernya dengan menjelaskan bahwa  diksi ‘’tempat jin buang anak’’ itu bukan dimaksudkan penghinaan, tapi untuk  mengungkapkan betapa jauh sebuah tempat. Tapi, logika ini tetap berbahaya, menyimpan potensi salah duga. Jika seorang Muslim Indonesia menjelaskan bahwa dia umrah dan haji di Makkah, padahal kota suci ini jauh dari Indonesia, akankah Tifatul diam saja ketika seseorang berkata, ‘’Wah Makkah jauh ya …’’ setelah itu ia menggunakan frasa yang digunakan Edy Mulyadi?

Lagi pula, apa ukuran jauh? Jauh dari mana? Dari rumah Edy Mulyadi di Jakarta, Ibukota Nusantara mungkin jauh, tapi lokasi itu dipilih Presiden Jokowi justru untuk mendekatkan ibukota negara baru dengan semua ibukota negara-negara ASEAN, mulai dari Singapura, Kualalumpur, Manila, Bangkok dan seterusnya. Sebagai ibukota, Jakarta selama ini terpencil di antara semua ibukota ASEAN. 

Jika Edy Mulyadi tidak setuju dengan logika Jokowi itu, mestinya diskusi difokuskan pada topik ini saja, bukan malah menyeret-nyeret jin buang anak dan genderuwo. Jokowi sengaja memilih Kalimantan Timur yang berada di tengah-tengah Indonesia agar ia menjadi ikon persatuan nasional yang strategis baik dari aspek pertahanan, keamanan, politik, juga ekonomi. Kaltim  adalah ‘center of gravity’ bagi Indonesia melalui perhitungan silang garis hubung Sabang-Merauke dan garis hubung Pulau Miangas-Pulau Rote. 

Benarkah demikian? Pikiran cerdas inilah yang seharusnya dibantai Edy Mulyadi dan kawan-kawan. Pikiran harus dilawan pikiran, data ditandingin data, logika dijabani logika, bukan dengan monyet. 

Edy Mulyadi dan kawanannya yang tinggal di Jakarta seharusnya senang Jokowi bakal memindahkan ibukota ke Kaltim. Nantinya, 1,5 juta orang berstatus TNI, Polri, ASN, beserta keluarga mereka akan hijrah ke sana. Itu berarti Jakarta akan semakin lengang, Edy dan kawan-kawan bisa touring motor atau sepeda ontel. Apalagi jika kementerian yang tidak relevan bertahan di Jakarta juga dipindahkan, misalnya kementerian pendidikan pindah ke Yogyakarta sebagai kota pelajar, kementerian pariwisata pindah ke Bali, kementerian pertanian pindah ke Sulawesi atau Papua. Jakarta dijamin lengang, tidak macet, gubernur tidak perlu lagi membuat aturan ruwet ganjil genap.
 
Bukan cuma ASN, anggota DPR RI juga harus pindah ke ibukota baru. Kalau betul ingin mengabdi pada rakyat, anggota parlemen harus betah tinggal di mana pun. Dengan demikian mereka tak mudah dikepung demonstrasi. Gedung DPR bisa dijual kepada swasta untuk menjadi pusat hiburan rakyat. Semua gedung kementerian juga dijual ke pihak swasta untuk dijadikan pusat-pusat bisnis. Jika ini terjadi, Jakarta akan menjadi pusat bisnis dan jasa mirip New York (AS) atau Dubai (Emirat Arab), Kota Nusantara menjadi Abu Dhabi (Emirat Arab) atau Washington DC (AS). 

Pikiran ini masih kurang cerdas? Ayo Edy, lawan pikiran itu dengan pikiran juga, bukan dengan genderuwo!

Edy Mulyadi dan kawanannya juga harus tahu, Presiden Soekarno pada 1957 sudah melirik  Palangkaraya, Kalimantan Tengah, sebagai lokasi ibukota Republik Indonesia. Bung Karno menilai posisi Palangkaraya unik karena berada tepat di tengah-tengah Indonesia. Rencana itu gagal akibat desakan beberapa duta besar dan sulitnya saat itu membawa material bangunan ke belantara Kalimantan.
 
Tapi, hari ini bukan 1957. Lokasi ibukota saat ini sebagian berada di Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kutai Karta Negara yang berdampingan dengan dua kota maju, Balikpapan dan Samarinda. Siapa bilang kedua kota itu penuh monyet? 

Infrastruktur di Kaltim juga lengkap. Apalagi lahan yang dikuasai pemerintah mencapai 180 ribu hektare, atau hampir tiga kali lipat lahan yang dikuasai pemerintah di DKI Jakarta. 

Dengan semua data ciamik itu saya yakin, Edy Mulyadi dkk sebenarnya sulit membantah gagasan hebat dan cerdas Jokowi. Dia mungkin hanya punya agenda lain hingga harus menolak pemindahan ibukota. Apa agenda itu? Saya tidak yakin agenda itu berkaitan dengan jin, genderuwo, apalagi monyet.