Rektor Universitas Lampung Prof. Dr. Karomani, M.Si.
Oleh : Karomani
(Rektor Universitas
Lampung/Guru Besar Ilmu Komunikasi)
Antara
Syariat , Hakikat dan Makrifat
Dalam
dunia tasawuf dikenal istilah syariat, hakikat dan makrifat. Syariat
berhubungan dengan laku agama yang bersifat formal berupa ritualitas agama yang
biasa dsiebut dengan istilah eksoterik.. Sementara hakikat berkaitan dengan
prilaku yang menukik pada substansi yang hakiki dalam beragama yang disebut
dengan esoterik dan ending dari perilaku ini adalah makrifatullah . Tatkala seseorang
sudah melewati tahap hakikat maka ia merasa demikian dekat nyaris tak berjarak dengan Tuhannya. Melalui agama dia akan mengenal
hakikat dirinya dan Tuhannya, man’arofa
nafsahu faqod ‘arofa robahu.
Agama
sebagaimana awam pahami identik dengan
laku ritualitas yang bersifat formal seperti
syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji. Padahal di balik kelima rukun
Islam itu ada sesuatu yang amat hakiki yang jika dilakukan oleh seseorang akan
mencapai makrifat yang demikian tinggi. Dengan mengucapkan dua kalimat syahadat
manusia berikrar bahwa tidak ada Tuhan yang maha besar selain Allah, dan Nabi
Muhammad adalah utusan Allah. Secara
hakiki bukanlah kekuasaan, jabatan ataupun kekayaan yang maha besar di depan
manusia melainkan Allah semata. Demikian juga Muhammad SAW sebagai utusannya
menjadi rahmat bagi semua manusia tanpa kecuali dan membawa ajaran untuk menyempurnakan
karakter akhlak manusia. Ikrar berislam menyerahkan diri pada sang khalik ini
diperkuat dengan sholat yang diawali dengan takbiratul ihram yakni Allahu Akbar
( Allah Maha Besar) dan diakhiri dengan
salam menebar keselamatan bagi semua manusia. Menebar keselamatan dan kasih
sayang ini dikuatkan dengan ritualitas puasa dan zakat. Puasa yang menahan perasaan
haus dan lapar sepanjang hari agar menginspirasi manusia untuk berempati, dan
berzakat berbagi dan peduli pada sesama manusia yang sedang “berpuasa” lapar
karena kemiskinan dan sebab sebab lainnya. Ritualitas berislam itu diakhiri
dengan haji sebagai simbol meneguhkan lagi sahadat ikrar manusia bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah dan manusia setara di hadapanNya tanpa membeda bedakan
etnis, bahasa, status sosial, kekayaan dan apapun jenis ‘aksesoris’ manusia.
Pakaian ihram yang berwarna putih yang dikenakan jutaan manusia yang berhaji
menjadi simbol bahwa manusia sama di hadapanNya.
Fenomena
sosial beragama pasca puasa
Ada fenomena
yang menarik akhir akhir ini. Sebagian generasi milineal di dunia Islam seperti
di Tunisia boleh jadi juga di Indonesia dan di negara negara yang dominan
berpenduduk muslim mulai menggugat cara cara beragama atau tepatnya berislam
yang eksoteris yang mengutamakan aspek formalitas alias kulit ketimbang aspek subtansi
ajaran agama. Meminjam ungkapan Masdar Helmy (23 Mei, 2020) bahwa kaum
eksoteris lebih mengaksentuasikan dimensi rukun syariat dalam ritualitas ibadah
ketimbang kedalaman isi atau makna spiritualnya. Puasa yang menahan perasaan
haus dan lapar sepanjang hari selama satu bulan penuh belum sepenuhnya
menginspirasi manusia untuk berempati, dan
berbagi peduli pada sesama yang sedang “berpuasa” lapar sepanjang
hidupnya karena kemiskinan dan sebab sebab lainnya. Berhadapan dengan kehidupan sehari hari puasa
juga kurang membentuk pribadi yang berintegritas dan berdisiplin tinggi
sebagaimana halnya orang sedang berpuasa yakni tidak boleh berbohong, tidak
boleh makan minum bukan pada waktunya dan lain sebagainya. Orang selepas puasa selepas hari raya idul
fitri di tempat kerjanya tak jarang
kembali lagi melanggar nilai nilai puasa seperti korupsi, kolusi, mencaci maki egois,
tidak sabaran, tidak menghargai waktu, tidak berdisiplin dan seterusnya. Akibatnya
berpuasa atau beragama yang eksoteris dianggap
kaum muda tidak signifikan dengan fenomena sehari hari karena nilai nilai
kedalaman puasa dan agama itu tidak membumi dalam kehiduapn sehari hari.
Kisah Sang Muazin
Untuk
membedakan beragama secara eksoteris dan esoteris saya nukilkan kisah Sang
Muazin yang dilukiskan Sufi Jalaludin Rumi yang dikutip Jalaludin Rahmat
(2002). Syahdan ada seorang Muazin yang
bersuara amat jelek di tengah komunitas non muslim. Meski sudah dilarang mengumandangkan adzan
oleh teman-temannya karena khawatir mengganggu umat lain dengan suara buruknya,
Ia bergeming tetap nekad terus teriak adzan
setiap hendak sholat lima waktu. Ia
marah pada teman temannya dan menganggap mereka sudah tidak mau lagi menegakkan
syariat dan sunnah Rasulullah; mereka dianggap sudah penakut, mengalah pada non
muslim demi toleransi dan persatuan umat. Semua temannya menjadi cemas takut
suara si muadzin yang demikian buruk dan memekakan telinga menjadi pemicu
kerusuhan dan serangan dari komunitas non muslim. Tiba tiba ada serorang non muslim
mencarinya dan membawakan hadiah seraya bertanya “Dimana seorang muazin yang
selalu membahagiakanku ketika aku medengar suaranya?” Teman temannya menjadi
heran mana mungkin suara seburuk itu bisa membahagiakannya. “ Suara adzan dia
itu tiap lima kali sehari semalam masuk ke dalam rumahku. Aku memiliki anak
gadis yang ingin menikah dengan seorang muslim.
Setiap hari aku tak bisa tidur. Aku takut dia meninggalkan agamaku. Aku
tak tahu lagi bagaimana caranya menghalanginya. Ia menggebu gebu ingin masuk
agama kalian. Namun tibalah suatu saat anaku datang dan mendengar suara adzan
itu. Ia bertanya pada adiknya, “Suara apa yang sangat jelek dan memekakan
telinga ini? Belum pernah seumur hidupku di vihara atau gereja aku mendengar
suara sejelek ini? Adiknya menjawab, “Suara itu suara adzan. Dengan suara itu
orang Islam dipanggil untuk melakukan shalat”. Mendadak anaku mukanya berubah
masam, dan ia mengurungkan niatnya untuk masuk Islam.“ Malam tadi aku tidur
nyenyak, karena itu aku akan menyampaikan terima kasihku pada sang Muazin yang
bersuara jelek itu.
Kisah yang ditulis Jalaludin Rumi itu adalah sindiran
bagi kita yang beragama secara eksoteris yang mengutamakan ritual agama seraya
abai terhadap nilai nilai agama yang mengarah pada kebaikan bersama. Agama
dipertontontkan dengan keburukan bukan sebaliknya, hingga orang menjauh dari
agama. Semoga selepas satu bulan penuh
kita berpuasa ditengah pandemi Covid-19 kita mampu membumikan ritualitas
syariat puasa, mampu membumikan nilai nilai agama seperti membangun solidaritas
sosial, tolong menolong, toleran menjaga keberagaman, empati pada sesama dan lain sebagainya. (mcn)