Bunga Alivia dan Pesan Damai Menara Kudus


Ikhtiar Bunga Alivia yang ingin mengenalkan Menara Kudus, warisan budaya khas Kudus di panggung bergengsi Miss Indonesia perlu diapresiasi. Kalau ia terselip lidah shg berucap Menara Kudus sebagai peninggalan Sunan Kalijaga, sementara masyarakat luas Kudus mengenalkannya sbg peninggalan Sunan Kudus: kita jadikan itu sebagai momentum pentingnya belajar seluk beluk benda cagar budaya bagi generasi milenial yg sudah dipayungi dalam UU no 11 tahun 2010 tentang Benda Cagar Budaya (BCB).
Bukan sekedar mengetahui peninggalan siapa, Menara Kudus itu, tapi yg jauh lebih penting adalah ada pesan apa di balik eksistensi Menara Kudus. Bapak pendiri bangsa, Bung Karno telah berwasiat "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah (JASMERAH).
Menara Kudus memang penuh pesona. Setiap kita hadir di bawahnya energi Islam ramah para Walisongo beberapa abad lalu begitu terasa. Sudah banyak diketahui bersama para wali/Sunan hingga dikenal Walisongo sebagian menyebut itu sebagai wujud jejaring dakwah semacam dewan wali. Sehingga dalam berbagai keputusan seperti pembangunan masjid Demak, Menara Kudus atau lainnya; biasanya didahului pertemuan musyawarah para wali sebagai wujud "spiritual partnership" sebagai strategi kultural dalam dakwahnya. Maka kalau kita coba ziarah ke berbagai makam para Walisongo sering ditemukan petilasan/situs pertemuan para wali sebagai titik srawung agung antar wali. Seperti di sisi selatan Menara Kudus ada masjid kuno Madureksan, juga oleh para wali dijadikan sebagai pusat pertemuannya dalam menentukan strategi dakwah sesuai kultur budaya masyarakat setempat. Agar Islam sampai ke masyarakat dengan elok, membutuhkan wadah yg tepat. Wadah Islam itu adalah budaya Maka berdirinya Menara Kudus juga melibatkan ikatan spiritual para wali yg menjadikan Islamisasi Jawa begitu berhasil dengan damai karena menemukan wadah budaya yg tepat
Karena Sunan Kudus sebagai agen utama dalam habitus dakwah di Kudus yang dulu dikenal dengan Tajug, dimana semula tradisi Hindu yg menonjol di daerah ini, maka peran utama Sunan Kudus begitu menonjol disamping Kya Telingsing, keturunan Thionghua, inspirator Sunan Kudus.
Sejarah memang kadang sarat polemik, bahkan pendapat Menara Kudus peninggalan Sunan Kudus atau sudah ada sebelumnya juga masih perlu kajian labih lanjut yg membutuhkan lintas disiplin ilmu. Ilmu sejarah saja tidak cukup, tapi perlu pendekatan interdisipliner dengan ilmu filsafat, arkeologi, filologi, arsitektur, cultural Studies dan disiplin ilmu lainnya. Harus ada generasi milenial yg fokus belajar pada ilmu-ilmu yg langka peminat itu.
Yang jelas dibalik pesona Menara Kudus yang konstruksinya menyerupai kulkul Bali, sistem komunikasi sakral dalam tradisi Hindu. Ternyata oleh Sunan Kudus dijadikan sbg media mengumandangkan adzan, panggilan sholat. Maka menara Kudus dalam hal ini sebagai bagian dari teknologi moderasi beragama yg membuat umat lain berbondong-bondong memeluk Islam secara damai. Maka dibalik eksistensi Menara Kudus ada pesan damai untuk Indonesia bahkan dunia.
Maka pada sisi tertentu kita patut berterima kasih kepada Bunga Alivia, karena ia sudah bergerak melakukan sesuatu dalam promosi Menara Kudus dengan perbuatan bukan sekedar menonton, namun di sisi lain semua pihak juga saya, termasuk Bunga Alivia perlu banyak belajar, kalau perlu memilih lagi ke jurusan arkeologi agar benda cagar budaya Indonesia semakin naik kelas. Wallahu a'lam.