Oleh : KH. Agus Sunyoto (saat menghadiri bedah buku "Fatwa dan Resolusi Jihad" di Pondok Lirboyo 3 November 2017)
TKR pertama, Yang nanti menjadi TNI. Dan komandan divisi pertama TKR itu bernama Kolonel KH. Sam’un, pengasuh pesantren di Banten. Komandan divisi ketiga masih Kyai, yakni kolonel KH. Arwiji Kartawinata (Tasikmalaya). Sampai tingkat resimen Kyai juga yang memimpin.
Fakta, resimen 17 dipimpin oleh Letnan Kolonel KH. Iskandar Idris. Resimen 8 dipimpin Letnan Kolonel KH. Yunus Anis. Di batalyon pun banyak komandan Kyai. Komandan batalyon TKR Malang misalnya, dipimpin Mayor KH. Iskandar Sulaiman yang saat itu menjabat Rais Suriyah NU Kabupaten Malang. Ini dokumen arsip nasional, ada Sekretariat Negara dan TNI.
Tapi semua data itu tidak ada di buku bacaan anak SD/SMP/SMA. Seolah tidak ada peran Kyai. KH. Hasyim Asy'ari yang ditetapkan pahlawan oleh Bung Karno pun tidak ditulis. Jadi jasa para Kyai dan santri memang dulu disingkirkan betul dari sejarah berdirinya Republik Indonesia ini.
Waktu itu, Indonesia baru berdiri. Tidak ada duit untuk bayar tentara. Hanya para Kyai dengan santri-santri yang menjadi tentara dan mau berjuang sebagai militer tanpa bayaran. Hanya para Kyai, dengan tentara-tentara Hizbulloh yang mau korban nyawa tanpa dibayar. Sampai sekarang pun, NU masih punya tentara swasta namanya Banser, ya gak dibayar. Dan tidak pernah minta bayaran
Tentara itu baru menerima bayaran pada tahun 1950. Selama perjuangan 45 sampai di tahun 50-an itu, tidak ada tentara yang dibayar negara.
Kalau mau mikir, 10 November Surabaya adalah peristiwa paling aneh dalam sejarah. Kenapa? Kok bisa ada pertempuran besar yang terjadi setelah perang dunia selesai 15 Agustus.
Sebelum pertempuran 10 November, ternyata ada perang 4 hari di Surabaya. Tanggal 26, 27, 28, 29 oktober 1945. Kok ‘ujug-ujug’ muncul perang 4 hari ceritanya gimana? Jawabnya: Karena sebelum tanggal 26 Oktober, Surabaya bergolak, setelah ada fatwa resolusi jihad PBNU pada tanggal 22 Oktober. Kini diperingati sebagai Hari Santri.
Tentara Inggris sendiri aslinya tidak pernah berfikir akan perang dan bertempur dengan penduduk Surabaya. Perang sudah selesai kok, Begitu pikirnya. Tapi karena masarakat Surabaya terpengaruh fatwa dan resolusi jihad, mereka nyerang Inggris, yang waktu itu mendarat di Surabaya. Sejarah inilah yang selama ini ditutupi.
Jika resolusi jihad ditutupi, orang yang membaca sekilas peristiwa 10 November akan menyebut tentara Inggris ‘ora waras’. Ngapain Ngebomi kota Surabaya tanpa sebab? Tapi kalau melihat rangkaian dari resolusi jihad, baru masuk akal; “Oya, mereka marah karena jenderal dan pasukannya dibunuh arek-arek Bonek Suroboyo”.
Fatwa Jihad muncul karena Presiden Soekarno meminta fatwa kepada PBNU: apa yang harus dilakukan warga Negara Indonesia kalau diserang musuh mengingat Belanda ingin kembali menguasai. Bung Karno juga menyatakan bagaimana cara agar Negara Indonesia diakui dunia. Sejak diproklamasikan 17 Agustus, tidak ada satupun negara di dunia yang mau mengakui.
Oleh dunia, Indonesia diberitakan sebagai Negara boneka bikinan Jepang. Bukan atas kehendak rakyat. Artinya, Indonesia disebut sebagai negara yang tidak dibela rakyat. Fatwa dan Resolusi Jihad lalu dimunculkan oleh PBNU. Gara-gara itu, Inggris yang mau datang 25 Oktober tidak diperbolehkan masuk Surabaya karena penduduk Surabaya sudah siap perang.
Ternyata sore hari, Gubernur Jawa Timur mempersilakan. “Silahkan Inggris masuk tapi di tempat yang secukupnya saja”. Ditunjukkanlah beberapa lokasi, kemudian mereka masuk. Tanggal 26 Oktober, ternyata Inggris malah membangun banyak pos-pos pertahanan dengan karung-karung pasir yang ditumpuk dan diisi senapan mesin.
"Lho, ini apa maunya Inggris. Kan sudah tersiar kabar luas kalau Belanda akan kembali menguasai Indonesia dengan membonceng tentara Inggris”, begitu kata arek-arek. Pada 26 Oktober sore hari, pos pertahanan itu diserang massa. Penduduk Surabaya dari kampung-kampung keluar ‘nawur’ pasukan inggris. “Ayo ‘tawur..tawuran..’!”.
Para pelaku mengatakan, itu bukan perang mas, tapi tawuran. Kenapa? Gak ada komandanya, gak ada yang memimpin. “Pokoke wong krungu jihad.. jihad… Mbah hasyim.. Mbah hasyim…”. Berduyun-duyun, arek-arek Suroboyo sudah keluar rumah semua dan langsung tawur sambil teriak ‘Allahu Akbar’ dan itu berlangsung 27 Oktober. Mereka bergerak karena seruan jihad Mbah Hasyim itu disiarkan lewat langgar-langgar, masjid-masjid, dan spiker-spiker. Pada 28 Oktober, tentara ikut arus arek-arek, ikut gelut dengan Inggris. Massa langsung dipimpin tentara. Dalam pertempuran 28 Oktober ini, 1000 lebih tentara Inggris mati dibunuh.
Tapi tentara tidak mau mengakui, karena Indonesia meski sudah merdeka, belum ada yang mengakui. Itu jadi urusan besar tingkat dunia jika ada kabar tentara Indonesia yang bunuh Inggris. Tentara tidak mau ikut campur. Negara belum ada yang mengakui kok sudah klaim bunuh tentara Inggris. Itu semua ikhtiyar arek-arek Suroboyo kabeh.
Pada 29 Oktober pertempuran itu masih terus terjadi. Inggris akhirnya mendatangkan presiden Soekarno dan wakil presiden Mohammad Hatta untuk mendamaikan. Pada 30 Oktober ditandatanganilah kesepakatan damai tidak saling tembak-menembak. Yang tanda tangan Gubernur Jatim juga. Sudah damai, tapi massa kampung tidak mau damai.
Pada 30 Oktober, akhirnya Brigadir Jenderal Mallaby di granat arek-arek Suroboyo. Mati mengenaskan di tangan pemuda Ansor. Ditembak, mobilnya di Jembatan Merah. Sejarah kematian Mallaby ini tidak diakui oleh Inggris. Ada yang menyebut Mallaby mati dibunuh secara licik oleh Indonesia. Aneh, jenderal mati tapi disembunyikan sebabnya karena malu.
Inggris marah betul. Masa negara kolonial kalah. Mereka malu dan bingung. Perang sudah selesai, tapi pasukan Inggris kok diserang, jenderalnya dibunuh. Apa ini maksudnya? “Kalau sampai tanggal 9 Nopember jam 6 sore pembunuh Mallaby tidak diserahkan, dan tanggal itu orang-orang surabaya masih yang memegang bedil, meriam dan seterusnya. tidak menyerahkan senjata kepada tentara Inggris, maka tanggal 10 Nopember jam 6 pagi Surabaya akan dibombardir lewat darat, laut, dan udara," begitu amuk jenderal tertinggi Inggris.
Datanglah tujuh kapal perang langsung ke Pelabuhan Tanjung Perak. Meriam Inggris sudah diarahkan ke Surabaya. Diturunkan pula meriam Howidser yang khusus untuk menghancurkan bangunan. Satu skuadron pesawat tempur dan pesawat pengebom juga siap dipakai. Surabaya kala itu memang mau dibakar habis karena Inggris marah kepada pembunuh Mallaby.
Pada 9 November jam setengah empat sore, Mbah Hasyim yang baru pulang usai Konferensi Masyumi di Jogja sebagai ketua, mendengar kabar arek-arek Suroboyo diancam Inggris. “Fardhu a'in bagi semua umat Islam yang berada dalam jarak 94 kilo dari Kota Surabaya untuk membela Kota Surabaya”. 94 kilo itu- jarak dibolehkannya solat qoshor.
Wilayah Sidoarjo, Tulungagung, Trenggalek, Kediri, wilayah Mataraman, Mojokerto, Malang, Pasuruan, Jombang datang semua karena dalam jarak radius 94 kilo. Dari Kediri, Lirboyo ini datang dipimpin Kyai Mahrus. Seruan Mbah Hasyim langsung disambut luar biasa. Bahkan Cirebon yang lebih dari 500 kilo datang- ke Surabaya ikut seruan jihad PBNU.
Anak-anak kecil bahkan orang-orang dari lintas agama juga ikut perang. Orang Konghucu, Kristen, dan Budha semua ikut jihad. Selain Mallaby, pertempuran di Surabaya menewaskan Brigadir jendral Loder Saimen. Luar biasa pengorbanan arek-arek Surabaya, para Kyai, dan santri. Tapi lihat, apa yang dilakukan pemerintah di kemudian hari kepada para Kyai ini? Dimanipulasi.
Dikutip dari situs hwmi.or.id