Oleh : Alvianti
Inilah pengalaman Ramadan pertamaku di Jerman! Ramadan tahun ini berlangsung pada musim semi, dengan suhu yang masih terhitung dingin bagi orang Jerman sekalipun.
Sejak sembilan bulan yang lalu aku tinggal di Schwäbisch Hall, Baden-Württemberg. Selama beberapa bulan ini juga, aku sudah pernah merasakan puasa dengan durasi yang berbeda-beda, tergantung musim yang sedang berlangsung. Sementara satu bulan terakhir ini adalah pengalaman pertama Ramadanku dengan durasi puasa yang 'tidak normal.'
Musim Gugur
Musim gugur tahun lalu, aku masih bisa merasakan pengalaman puasa sunat dengan durasi yang masih terbilang wajar. Misalnya pada sekitar bulan Oktober, aku bangun untuk makan sahur sekitar pukul 5 pagi dan berbuka puasa sekitar pukul 6.30 sore. Durasi puasanya sekitar 12,5 jam saja, tetapi durasi puasa ini bahkan menjadi semakin pendek seiring siang hari yang semakin menyusut menuju musim dingin.
Pada musim dingin, durasi puasa menjadi lebih menarik. Durasinya menjadi sangat pendek dikarenakan waktu gelap (malam hari) yang menjadi lebih panjang dibandingkan siang hari. Pada musim ini aku bisa santap sahur pukul 5.30 mengingat adzan subuh baru berkumandang hampir pada pukul setengah 7 pagi. Lalu pada pukul 5 sore, suasana sudah gelap, jadi pada pukul setengah 5 waktu berbuka sudah tiba! Durasi puasanya hanya sekitar 10 jam saja. Seolah-olah seperti kita sarapan pagi-pagi, lalu tidak makan siang, dan baru makan saat selesai beraktivitas pada sore hari.
Musim Semi - Ramadan
Lalu bagaimana dengan puasa pada musim semi? Inilah pengalaman Ramadan pertamaku di Jerman! Ramadan tahun ini berlangsung pada musim semi dengan suhu yang masih terhitung dingin bagi orang Jerman sekalipun. Hanya pada hari terakhir puasa temperatur berubah menjadi panas seperti di tanah air tercinta.
Meskipun suhu masih terbilang dingin, tetapi tetap saja siang hari sudah lebih menguasai daripada durasi malam hari, yang sudah terpotong sekitar 5 jam dibandingkan malam hari di Indonesia. Pada hari pertama puasa, aku mengikuti salat tarawih di mesjid Turki dekat rumahku: Mevlana Moschee.
Beruntung sekali mesjid ini sangat dekat, hanya berjarak 10 menit jalan kaki saja. Tarawih di Mevlana Moschee ini dimulai tepat setelah salat isya, yaitu sekitar pukul setengah 11 malam dan berakhir sekitar pukul setengah 12.
Di rumah, dengan antusias aku menyiapkan kudapan sahur agar saat bangun nanti aku hanya tinggal menyantapnya saja. Aku merebus sebutir telur dan membuat müsli (sajian sarapan sehat khas Jerman). Lalu aku bergegas tidur dan memasang banyak alarm untuk membangunkanku pada pukul 3 atau setidaknya setengah 4, mengingat imsak sudah nyaring berbunyi pada pukul 4.16.
Namun pengalaman sahur pertamaku tidak berjalan mulus, karena aku bangun terlambat. Kudapan sahur pun aku simpan kembali di kulkas untuk keesokan harinya, yang juga tak sempat tersantap karena aku kembali bangun kesiangan. Müsli untuk sahur pertamaku baru berhasil aku santap pada sahur hari ketiga.
Dibandingkan di Indonesia, puasa di Jerman tentu saja sangat berbeda. Hampir semua orang tidak berpuasa kecuali aku, mengingat rekan kerjaku yang muslim sangat sedikit. Semua orang terheran-heran melihat aku tidak makan bahkan tidak minum sebelum matahari terbenam. Menurut mereka, setidaknya aku harus minum.
Pokoknya, suasana Ramadan di sini tidak terlalu kentara. Orang-orang makan dan minum di sekelilingku seperti biasa; tidak ada yang tahu bahwa Ramadan tengah berlangsung; tidak ada tayangan komedi sahur; tidak ada yang membangunkan untuk sahur selain alarm hand phone; tidak ada kultum-kultum khas Ramadan; tidak ada pemandangan orang-orang bertilawah di berbagai sudut; tidak ada orang yang berjualan takjil; dan tidak terdengar adzan Magrib yang selalu sudah dinantikan (suara adzan tidak sampai ke rumahku).
Lalu, apalagi tantangan lainnya? Tentu saja durasi puasa yang lama. Ifthar hari pertama adalah pukul 20.50 dan ifthar hari terakhir pukul 21.24 dengan imsak sekitar pukul setengah 4
Mesjid Mevlana di Schwäbisch Hall
Namun ternyata puasa yang lama ini tidak menjadi soal bagiku. Rasa lapar dan haus masih terasa normal sebagaimana berpuasa di Indonesia. Yang menjadi masalah adalah waktu tidur yang menyempit sangat signifikan.
Setiap kali pulang tarawih, pasti saja jam sudah menunjukkan sekitar pukul setengah 12 malam. Jika aku tidak langsung tidur karena mengerjakan ini dan itu, tanpa terasa sudah tengah malam atau bahkan sudah pukul 1 pagi. Ketika aku akhirnya tidur dan bangun kembali, mataku terasa perih karena tidur yang baru berlangsung 2 sampai 3 jam saja.
Setelah salat subuh, mataku selalu terasa sangat berat dan untuk menabung energi, biasanya aku tidur kembali. Jika aku tidak melanjutkan tidur, maka aku akan merasa lelah saat bekerja dari pukul 7 pagi hingga setengah 4 sore.
Jika aku tidak tidur setelah subuh, maka biasanya aku akan tidur sepulang kerja sambil menunggu waktu asar pada kisaran pukul 5 sore. Istirahat ini sangat aku perlukan demi memulihkan tenaga untuk waktu puasa yang masih berlangsung sekitar 4 hingga 5 jam, plus harus terjaga hingga selesai tarawih pada tengah malam.
Namun karena sangat lelah, terkadang aku baru bisa bangun pukul 7 atau 8 malam, meskipun alarm hapeku terus menjerit-jerit marah membangunkanku. Untung saja ketika bangun, langit masih terang benderang karena matahari belum terbenam!
Beruntung, Ramadan tahun ini suhunya tidak panas, sehingga aku tidak berpeluh-peluh maupun kehausan. Aku juga tidak merasa sendirian, karena setiap tarawih aku bertemu banyak muslim lainnya yang juga berjuang mengerahkan sisa-sisa energi untuk mendirikan salat sunat khas Ramadan ini di mesjid.
Selain itu, setiap hari Jumat dan Sabtu, selalu diadakan buka puasa bersama di mesjid. Hidangan yang disajikan berasal dari iuran sukarela jamaah masjid. Ramai sekali orang berbondong-bondong ke mesjid untuk ifthar bersama menyantap kudapan yang sangat lezat. Mengingat ini adalah mesjid Turki, makanan yang dihidangkan pun masakan Turki yang sangat melimpah dan kaya akan daging, karbohidrat, juga salad, tak lupa juga makanan penutup yang sangat manis!
Selain buka bersama di mesjid, aku juga sering berpuka puasa bersama dengan keluarga-keluarga yang aku kenal di mesjid. Mereka menjamuku dengan hidangan berbuka yang sangat banyak dan sangat lezat. Hanya satu kekurangannya: tidak ada sambal.
Lalu, sejak jauh-jauh hari, aku meminta izin untuk tidak masuk kerja pada hari raya ‘Idul Fitri. Lebaran pertamaku di Jerman ini aku habiskan bersama kenalan-kenalan Turki yang aku kenal dari mesjid. Juga bersama hidangan-hidangan türkisch mereka yang sangat lezat dan tiada akhir.
Ramadan pertamaku sudah usai dengan masalah jam tidur yang menjadi persoalan utama. Namun Ramadan berikutnya akan lebih ringan karena akan dimulai di bulan April, waktu di mana durasi puasa dan durasi waktu tidur akan lebih bersahabat.
Kalau musim panas sudah hadir, aku ingin mencoba bagaimana rasanya puasa dengan durasi yang jauh lebih menantang. Mungkin aku akan harus bangun sahur pukul setengah 2 pagi dan berpuasa hingga pukul setangah sembilan malam yang masih cerah ceria.
Dikutip dari dw.com