Presiden G20 Indonesia Ajak Rusia Berdamai

Oleh : I Ketut Guna Artha

Pada saat dunia mengalami krisis harga minyak tahun 1970, negara-negara Industri membentuk Kelompok 7/Group of Seven (G7). 

Mereka adalah Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat (AS). 
Para pemimpin negara tersebut berkepentingan dengan stabilnya harga minyak sehingga memutuskan untuk membentuk G7 sebagai upaya mencari solusi.

Kemudian tahun 1998, Rusia bergabung sehingga G7 menjadi G8. 

Atas prakarsa kelompok G8 kemudian memperluas kemitraan dibidang ekonomi moneter dengan melibatkan negara-negara berkembang. Maka pada 26 September 1999 lahirlah forum Kelompok 20 Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral atau The Group of Twenty (G20) Finance Ministers and Central Bank Governors.

Anggota G20 bertambah menjadi Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, AS, Rusia, Argentina, Australia, Brazil, China, India, Indonesia, Meksiko, Arab Saudi, Afrika Selatan, Korea Selatan, Turki, Uni Eropa.

G20 lebih banyak menjadi forum konsultasi dan kerja sama yang berkaitan dengan ekonomi dan moneter internasional. Kepemimpinannya dirotasi mengadopsi sistem Troika yang terdiri dari ketua tahun berjalan, ketua tahun lalu, dan ketua tahun berikutnya.

Pertemuan perdana G20 berlangsung di Berlin, Jerman pada tanggal 15-16 Desember 1999.

Dalam perkembangannya G20 bukan hanya menjadi forum Menteri Ekonomi dan Gubernur Bank Sentral, namun diperkuat dengan melibatkan kepala pemerintahan sehingga sejak tahun 2008 forum pertemuan ini menjadi Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20.

Peran Rusia sebagai anggota G8 mangalami friksi karena AS dan Uni Eropa minilai krisis politik Crimea sebagai aneksasi Crimea, Ukraina oleh Rusia, maka pada tahun 2014 keanggotaan Rusia dalam kelompok G8 dikeluarkan. 

Selain dikeluarkan dari keanggotaan, Rusia juga mendapat sanksi ekonomi dari G7 (minus Rusia). Sanksi ekonomi yang lebih bernuansa "politik" tersebut bukan menjadikan Rusia terisolasi dengan dunia luar karena Rusia masih tetap menjadi anggota G20.

Pada KTT G20 ke-16 di Roma, Italia yang telah berlangsung ditengah dunia masih menghadapi Covid-19 pada Oktober 2021 telah menghasilan kesepakatan untuk mengatasi perubahan iklim, komitmen untuk mengurangi emisi dan kandungan berbahaya bagi lingkungan. 

Pemimpin negara yang tergabung dalam G20 setuju untuk mencapai target nol emisi karbon pada tahun 2050. Langkah konkritnya dengan kebijakan transformasi energi fosil menuju Energi Baru Terbarukan (EBT) yang lebih ramah lingkungan.

Salahsatu upaya yang akan dilakukan diantaranya dengan mengakhiri pembiayaan publik untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang bersumber dari batu bara. 

Untuk diketahui berdasarkan BP Statistical Review of World Energy 2020, berikut 10 negara dengan cadangan minyak terbesar dunia 2019:
 
1) Venezuela: 303,8 triliun barrel
2) Arab Saudi: 297,6 triliun barrel
3) Kanada: 169,7 triliun barrel
4) Iran: 155,6 triliun barrel
5) Irak: 145 triliun barrel
6) Rusia: 107,2 triliun barrel
7) Kuwait: 101,5 triliun barrel
8) Uni Emirat Arab: 97,8 triliun barrel
9) Amerika Serikat: 68,9 triliun barrel
10) Libya: 48,4 triliun barrel.

Berikut daftar 10 negara penghasil batu bara per tahun, terbesar dunia tahun 2018 menurut International Energy Agency (IEA):

1) China: 3,55 miliar ton
2) India: 771 juta ton
3) Amerika Serikat: 685 juta ton
4) Indonesia: 549 juta ton
5) Australia: 483 juta ton
6) Rusia: 420 juta ton
7) Afrika Selatan: 259 juta ton
8) Jerman: 169 juta ton 
9) Polandia: 122 juta ton
10) Kazakhstan: 114 juta ton.

Jika kesepakatan G20 atas komitmennya untuk meninggalkan energi fosil (minyak dan batubara) tahun 2050 maka secara teori negara-negara penghasil minyak dan batubara memiliki sisa waktu 28 tahun secara optimal untuk memanfaatkan nilai ekonomi energi yang bersumber dari minyak dan batubara tersebut. 

Dengan kata lain bahwa pasca 2050 dunia akan "dipaksa" menggunakan Energi Baru Terbarukan yang tentunya akan mengubah peta "pemain" energi masa depan. 

Indonesia adalah salahsatu negara yang akan menjadi "pemain" karena berlimpahnya cadangan energi berupa air, panas bumi/geothermal, gas alam, matahari, angin, listrik/battery dan bio energi.

Menurut data Think Geoenergy tahun 2020, Indonesia seharusnya bisa menyalip posisi teratas Amerika Serikat jika bisa merealisasikan target kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Target realisasi ini tertunda karena Covid-19.

Berikut negara yang memiliki PLTP terbesar di dunia yakni: 

1) Amerika Serikat: kapasitas terpasang PLTP sebesar 3.676 megawatt

2) Indonesia: kapasitas terpasang PLTP sebesar 2.133 megawatt, dengan potensi sumber cadangan setara 29.544 megawatt, Indonesia sedang mengupayakan terealisasinya kapasitas terpasang PLTP sebesar 3708 megawatt 

3) Filipina: kapasitas terpasang PLTP sebesar 1.868 megawatt 

4) Turki: kapasitas terpasang PLTP sebesar 1.526 megawatt 

5) Selandia Baru: kapasitas terpasang PLTP sebesar 1.005 megawatt

Berdasarkan BP Statistical Review of World Energy tahun 2020, Indonesia memiliki cadangan gas alam sebesar 1,25 triliun meter kubik, namun tidak termasuk 10 negara yang memiliki cadangan gas alam terbesar di dunia yakni:

1) Rusia: 37,4 triliun meter kubik 
2) Iran: 32,1 triliun meter kubik 
3) Qatar: 24,7 triliun meter kubik 
4) Turkmenistan: 13,6 triliun meter kubik 
5) Amerika Serikat: 12,6 triliun meter kubik 
6) China: 8,4 triliun meter kubik 
7) Venezuela: 6,3 triliun meter kubik 
8) Arab Saudi: 6 triliun meter kubik 
9) Uni Emirat Arab: 5,9 triliun meter kubik 
10) Nigeria: 5,5 triliun meter kubik 

Yang menariknya bagi Indonesia adalah, forum KTT G20 yang telah berlangsung di Italia ditutup dengan penyerahan secara simbolis palu kepemimpinan/Presidensi G20 dari Perdana Menteri Italia, Mario Draghi kepada Presiden Joko Widodo sebagai penanda Presidensi G20, Indonesia memimpin G20 selama satu tahun, mulai 1 Desember 2021 hingga 30 November 2022.

Peran Stategis Indonesia Dalam Presidensi G20

Sebagai Presidensi G20 ditengah dunia yang masih mengalami perlambatan ekonomi global akibat pandemi Covid-19, Presiden Joko Widodo berkomitmen untuk membantu upaya bersama dalam pemulihan ekonomi dengan mengusung tagline "Recover Together, Recover Stronger" yang menitik beratkan pada pendekatan pembangunan yang berfokus pada manusia, ramah lingkungan dan berkelanjutan. 

"Upaya tersebut harus dilakukan dengan cara luar biasa, terutama melalui kolaborasi dunia yang lebih kokoh, dan inovasi yang tiada henti," Jokowi. 

Sepanjang Presidensi G20 Indonesia sejak tanggal 1 Desember 2021 hingga 30 November 2022 diadakan sejumlah agenda pertemuan yang terbagi atas pertemuan pada tingkat kelompok kerja (Working Groups), tingkat Menteri, tingkat Sherpa dan Finance Deputies, hingga puncaknya KTT G20 ke-17 yang akan diselenggarakan di Bali pada 30 - 31 Oktober 2022. 

Pertemuan Pertama Tingkat Sherpa  (Sherpa Track), telah berlangsung di Jakarta pada 7 - 8 Desember 2021. Pertemuan ini membahas isu-isu ekonomi non-keuangan seperti sektor energi, pembangunan, pariwisata, ekonomi digital, pendidikan, tenaga kerja, pertanian, perdagangan, investasi, industri, kesehatan, anti korupsi, lingkungan, hingga perubahan iklim.

Financial Track telah berlangsung tanggal 9 - 10 Desember 2021 di Nusa Dua, Bali memprioritaskan enam isu terkait dengan ekonomi yakni exit policy untuk pemulihan ekonomi global pasca pandemi, mengatasi dampak Covid-19 di sektor riil, seperti tenaga kerja dan keuangan, sistem pembayaran di era digital, keuangan berkelanjutan yang menciptakan keadilan bagi semua negara, inklusi keuangan terkait teknologi digital dan akses pembiayaan serta pemasaran usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta sistem perpajakan internasional agar tercipta kepastian rezim pajak, transparansi, dan pembangunan.

Selain menghadapi ketidakpastian ekonomi global akibat belum tuntasnya persoalan menghadapi pandemi Covid-19 dengan munculnya varian baru, perhatian dunia juga kini tercurah dengan meningkatnya eskalasi politik dengan serangan militer Rusia atas Ukraina yang telah mengkawatirkan akan terjadinya dampak kemanusiaan dan ekonomi. 

Walaupun kekawatiran ini sempat memberikan optimisme atas dipilihnya jalan diplomasi untuk penyelesaian konflik Rusia - Ukraina dengan ditariknya pasukan Rusia dari Crimea namun Presiden Rusia, Vladimir Putin pada Kamis (24/2/2022) mengumumkan operasi militer untuk membela separatis di wilayah timur Ukraina. Rusia telah melakukan serangkaian serangan militer ke sejumlah kota-kota di Ukraina yang dikawatirkan menyeret AS dan NATO terlibat dalam konflik tersebut.

Konflik Rusia Ukraina merupakan masalah domistik kedua negara, namun mengingat berpotensi menyeret beberapa anggota G20 seperti Amerika Serikat.

Sehingga untuk menghindari meluasnya konflik yang lebih besar maka momentum Presidensi G20 sebaiknya diambil sebagai peran strategis Indonesia dalam berkontribusi bukan hanya mengupayakan secara bersama-sama dalam pemulihan ekonomi namun juga mengupayakan terjaganya stabilitas keamanan kawasan sebagai syarat mutlak. 

Oleh karena itu, Indonesia dipandang perlu untuk melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1) Sebagaimana disampaikan oleh Presiden Jokowi yang menilai posisi Indonesia di Presidensi G20 seperti halnya perjuangan Presiden Sukarno saat menginisiasi dan memimpin negara-negara dalam Konferensi Asia Afrika telah menginspirasi kemerdekaan bangsa-bangsa di Asia dan Afrika. 

Oleh karena itu peran Indonesia saat ini dalam Presidensi G20 yang diberi amanat dalam memimpin negara-negara terkaya dunia untuk membangun dunia yang lebih baik, yang lebih berkeadilan bagi semua dan bagi masa depan dunia maka politik Bebas Aktif Indonesia yang Non Blok harus proaktif menyerukan jalan diplomasi untuk menyelesaikan konflik Rusia - Ukraina.

2) Sebagai negara Non Blok yang punya kewajiban untuk turut serta dalam menciptakan ketertiban dunia dan perdamaian maka Indonesia sebaiknya menawarkan solusi konkrit yang dapat diterima oleh pihak yang bertikai yang notabene sebagai anggota G20 baik Rusia maupun Amerika Serikat yang mendukung Ukraina bergabung dengan NATO.

Sementara sikap keras Rusia sangat jelas menolak bergabungnya Ukraina kedalam NATO yang kehadirannya dinilai mengancam keamanan Rusia.

Oleh karena itu Indonesia sebaiknya menawarkan Ukraina untuk bergabung menjadi anggota Gerakan Non Blok sebagai solusi permanen untuk menghindari konflik kawasan yang berkepanjangan. 

Hal ini dipandang dapat terpenuhinya keinginan Rusia namun juga mengerem ekspansi Amerika Serikat memperluas keanggotaan NATO.

Artinya lebih baik Indonesia menyerukan kepada pemimpin dunia agar tidak terjadi keberpihakan untuk mendorong dan memperkuat kerjasama ekonomi dibanding pertahanan militer yang jika dipaksakan akan mencederai pihak yang merasa dirugikan.

3) Sebaiknya Indonesia tidak reaktif dan terlalu cepat mengambil sebuah pernyataan sikap yang seolah "menghakimi" tindakan Rusia atas Ukraina. Dalam arti politik luar negeri Indonesia yang Bebas Aktif sebagai anggota Gerakan Non Blok tidak boleh menerapkan kebijakan standar ganda, karena disatu pihak Indonesia mendukung kemerdekaan bangsa-bangsa dan dilain pihak misalnya mencampuri hukum kedaulatan negara lain. 

Hal ini penting sebagai penghormatan negara lain untuk mengakui kedaulatan Indonesia atas Laut Natuna Utara misalnya dan menolak Indonesia "didikte" negara lain atas penanganan gerakan kriminal bersenjata di Papua.

Walaupun sejatinya forum G20 merupakan forum kerjasama ekonomi dan moneter, namun ketika ada anggotanya sedang bertikai karena masalah politik, kekerasan militer yang yang akan dapat memperparah pemulihan ekonomi dunia maka saya melihat KTT G20 menjadi stategis untuk Indonesia mengajak pemimpin dunia untuk saling menahan diri, memilih jalan diplomasi untuk mencari solusi serta berkolaborasi secara bersama memulihkan ekonomi dunia.