Oleh: Dr. Muchlis Hanafi, MA.
(Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an dan Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an Kementerian Agama RI)
‘Haadza ghawghaa`iyyatut tadayyun’! (Ini sikap beragama yang kacau dan meresahkan!). Begitu komentar singkat Syeikh Mutawalli Sya`rawi. Saat ditanya soal TOA masjid yang memekakkan telinga. Beliau menambahkan, “TOA menjadi petaka terbesar umat di era modern”.
Tak ada yang berani menghujat Sya`rawi seperti dialami Gus Yaqut saat ini. Siapa yang tidak kenal beliau di Mesir. Salah seorang ulama terkemuka di Mesir abad 20. Beruntung penulis sempat bertemu beliau di tempat favoritnya; Masjid Sidnal Husein dan Sayyidah Nafisah. Di era tahun 90-an.
Kegusaran Sya`rawi beralasan. Di kota dengan julukan ‘seribu menara’ masjid/musala berdekatan. Saat azan tiba, keluar suara bertalu-talu dan sahut-sahutan dengan nada dan irama macam-macam. Lebih-lebih di pagi gulita. Sudah ada yang ‘bengak-bengok’ (yuhabhab) jelang subuh tiba. Padahal, kata Syarawi, ada orang sakit dan orang tua yang tidak bisa tidur sepanjang malam. Baru perlahan pulas jelang subuh.
Wajar, bila tahun 2004 Menteri Wakaf Mesir, Hamdi Zaqzuq, melontarkan gagasan “satu azan untuk semua” (al-adzân al-muwahhad). Azan dikumandangkan di satu tempat. Oleh muadzin bersuara merdu dan syahdu. Dan, disiarkan oleh seluruh masjid di wilayah yang waktu salatnya sama.
Pro-kontra bermunculan. Termasuk di kalangan ulama Al-Azhar. ‘Satu azan untuk semua’ bukan bid`ah, kata Zaqzuq. Ini tidak ada kaitannya dengan syariat. Jumhur ulama membolehkan, karena hanya soal pengaturan.
Gagasan ini pernah disampaikan Zaqzuq kepada Menag Maftuh Basuni. Saat kunjungan ke Kairo tahun 2008. Dukungan Mufti Mesir, Syeikh Ali Jum`ah, ia peroleh. Tetapi, koleganya di Jurusan Aqidah-Falsafah, Prof. Ahmad al-Musayyar, menudingnya akan menghilangkan syiar agama.
Walhasil, pro-kontra soal TOA di Mesir terus berkepanjangan. Sampai akhirnya, Menteri Wakaf Prof. Mokhtar Gomoa, pada awal 2019 menyatakan, ‘tidak ada kata mundur dan menyerah untuk adzan muwahhad’. Senin 25 Februari 2019 uji coba ‘satu adzan untuk semua’ dimulai.
Itu ikhtiar Mesir mengatur TOA yang bising. Lumayan ramai polemiknya. Tidak kalah dengan di sini. Padahal, Surat Edaran (SE) Menag tidak se-ekstrem gagasan ‘satu azan untuk semua’. Dan, bukan ‘bid`ah’ baru. Empat puluh empat tahun silam sudah ada aturan serupa. Beberapa negara Islam sudah lebih dulu mengatur. Umumnya dengan konsep ‘satu azan untuk semua’.
Uni Emirate Arab (UAE) yang pertama sukses menerapkannya tahun 2004. Tidak tanggung-tanggung. Dipancarkan melalui satelit untuk meng-cover 1050 masjid saat itu. Disusul Suriah tahun 2007, Palestina 2016 dan Yordania pada Oktober 2017. Terbaru, Mei tahun lalu (2021) Saudi Arabia mengeluarkan aturan soal TOA.
Menteri Urusan Islam, dakwah dan Bimbingan, Syeikh Abdul Lathif Al al-Syeikh mengeluarkan Surat Edaran (SE) agar suara keluar Toa hanya diperbolehkan saat azan dan ikamah. Itu pun tidak boleh melebihi sepertiga suara maksimal Toa. Yang melanggar akan ditindak secara hukum. Sangat tegas. Didukung oleh barisan ulama Salafi-Wahabi. Berbeda dengan SE Gus Yaqut yang hanya berupa himbauan. Tanpa sanksi hukuman. Itu pun dihujat habis-habisan.
Aturan tersebut, menurut Alu al-Syeikh, untuk mengurangi dampak mudarat Toa yang mengganggu orang-orang sakit, lanjut usia dan anak-anak di rumah-rumah sekitar masjid. Dan, agar syiar azan tidak rusak oleh suara-suara yang saling beradu. Yang menjawab azan pun tidak bingung. Pengaturan penting untuk hadirkan syiar azan yang syahdu.