Menegaskan Makna Puasa

 


Menegaskan Makna Puasa

Oleh: Ahmad Fatah


Puasa Ramadhan adalah salah satu pilar dalam Islam. Sebagai salah satu rukun Islam, puasa memiliki peran penting bagi umat Islam. Puasa Ramadhan tidak sekedar sebagai rutinitas ritual dan kewajiban, tetapi memiliki makna dan tujuan untuk penghambaan diri kepada Allah serta memiliki kebermaknaan sosial. Puasa juga tidak sekedar menahan lapar dan dahaga, namun puasa merupakan suatu ibadah yang mulia, yang pahalanya hanya Allah yang membalasnya. Selain itu puasa merupakan ibadah fisik dan mental.

Esensi puasa adalah pengendalian diri. Secara fisik pengendalian tersebut dapat terwujud dalam bentuk pengendalian pola makan yang baik. Tubuh manusia memiliki mekanisme alamiah yang digunakan untuk mangatasi kondisi-kondisi yang tak diinginkan, agar tetap dalam kondisi normal. Mekanisme alamiah ini disebut sebagai homeostatis. Dalam keadaan puasa selama kurang lebih tigabelas jam tubuh tidak mendapatkan suplai makanan, akan tetapi tubuh tetap bertahan. Ini disebabkan tubuh masih memiliki cadangan energi yang berasal dari karbohidrat yang disimpan dalam bentuk glikogen yang mampu bertahan sampai duapuluh lima jam. Dengan demikian, mereka yang berpuasa jangan khawatir menjadi sakit karena memiliki mekanisme alamiah untuk mempertahankan dirinya. Masa puasa ini cukup untuk membersihkan makanan yang tertimbun dalam usus besar dan memberikan kepada usus besar untuk beristirahat dari proses pencernaan. Hal ini, sangat jelas bahwa dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda yang artinya:”berpuasalah niscaya kamu akan sehat” (HR. Thabrani). Ada salah satu riset dalam buku The Miracle of Fasting karya Paul C. Bragg dan Patricia Bragg menjelaskan bahwa: Fasting is an effective and safe method of detoxifying the body – a technique that wise men have used for centuries to heal the sick. Ternyata puasa juga sebagai cara yang efektif dan aman untuk detoksifikasi atau pengawaracunan dalam tubuh, cara ini juga telah digunakan orang berabad-abad untuk menyembuhkan orang sakit.

Selain secara fisik, puasa hakikatnya adalah mendidik manusia agar memiliki pengendalian diri dari nafsu dan sifat buruk, baik sifat bahimiyyah, sabu`iyyah maupun syaithoniyyah. Puasa juga dapat meningkatkan penghayatan dan pengamalan agama. Kondisi makan dan minum yang halal saja di tahan dan dikendalikan, apalagi berbuat dosa dan maksiat. Sehingga kondisi seperti ini dapat melatih seseorang untuk berempati dan simpati, sekaligus melatih dan mendidik agar tidak konsumtif dan tidak hedonis. Hal inilah yang melatih dan membentuk kesadaran manusia. Dari kesadaran bertindak positif itu terbentuklah mental dan karakter yang kuat. Sekaligus mampu menjadi filter dari penyakit-penyakit hati seperti iri, dengki, sombong, pendendam dan lain sebagainya. Nilai-nilai spiritualitas yang positif inilah yang sebenarnya perlu di pahami, di hayati dan di laksanakan. Agar puasa tidak hanya sekedar sebagai ibadah fisik dan rutinitas ritual saja, tetapi mampu melatih dan membentuk jiwa yang sehat.

Tujuan puasa adalah agar mencapai taqwa. Hal ini sesuai firman Allah dalam Alquran QS. al-Baqarah 183 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertaqwa”. Hampir tiap tahun kita menjalankan puasa, tapi belum memahami hakikat taqwa dan bagaimana penerapannya dalam kehidupan.

Taqwa terambil dari akar kata yang bermakna menghindar, menjauhi, atau menjaga diri. Secara harfiah taqwa berasal dari kata waqaa, yaqii wiqaayah yang berarti memelihara menjaga dan lain sebagainya. Kalimat perintah ittaqullahsecara harfiah berarti: hindarilah, jauhilah, atau jagalah dirimu dari Allah. Makna ini tidak lurus bahkan mustahil dilaksanakan oleh makhluk. Bagaimana mungkin makhluk menghindarkan diri dari Allah atau menjauhiNya, sedangkan Dia bersama kamu dimanapun kamu berada. Oleh karena itu perlu disisipkan kata atau kalimat untuk meluruskan maknanya. Misalnya kata siksa atau yang semakna dengannya, sehingga perintah bertaqwa mengandung arti perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah.

Sebagaimana kita ketahui siksa Allah ada dua macam:

1.    Siksa didunia akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum Tuhan yang ditetapkanNya berlaku dialam raya ini. Misalnya: makan berlebihan dapat meninbulkan penyakit, tidak mengendalikan diri dapat menjerumuskan terhadap bencana, atau api panas dan membakar, dan hukum-hukum alam dan masyarakat lainnya.

2.    Siksa diakhirat, akibat pelanggaran terhadap hukum syariat, seperti tidak shalat, puasa, mencuri, melanggar hak-hak manusia, dan lain-lain yang dapat mengakibatkan siksa neraka.

Menghindari siksa atau hukuman Allah, diperoleh dengan jalan menghindarkan diri dari segala yang dilarangnya serta mengikuti apa yang diperintahkanNya. Hal ini dapat terwujud dengan rasa takut dari siksaan dan atau takut dari yang menyiksa (Allah SWT). Rasa takut ini, pada mulanya timbul karena adanya siksaan, tetapi seharusnya ia timbul karena adanya Allah SWT.

Atas dasar pemaparan tentang taqwa tersebut, takwa dapat diklasifikasikan. Pertama, menghindar dari sikap kufur dengan jalan beriman kepada Allah. Kedua, berupaya melaksanakan perintah Allah sejauh kemampuan yang dimiliki dan menjauhi larangan-Nya. Ketiga, menghindar dari segala aktifitas yang menjauhkan pikiran dari Allah. Inilah tingkatan upaya menghindar yang tertinggi. Wallahu A`lam bish Showab.